Skip to main content

Buaya Putih

Setelah kalah perang dengan Satria Tanah Dewa dan terlempar sampai ke tengah laut Raksasa Bodoh Pemangsa Manusia berubah menjadi seekor Buaya Putih. 

"Aku boleh kalah sama kamu hai...satria perkasa, tapi awas aku akan terus meneror anak cucumu supaya menjadi pengikutku, menjadi hamba-hambaku yang paling setia dan patuh akan semua perintahku". Itulah ancaman Raksasa Bodoh Pemangsa Manusia terhadap anak cucu Satria Tanah Dewa.

"Silakan saja kalau kamu mampu...tapi apapun tindakanmu, acamanmu adalah tanggungjawabmu sendiri, kamu yang akan menanggung akibatnya sendiri, bila Sang NataJagad Tanah Dewa tidak terima akan semua ancamanmu terhadap anak cucuku kelak", jawab Satria Tanah Dewa mantap.

"Hahahaha...aku tidak takut...aku tidak kenal Sang NataJagad Tanah Dewa...???

"Kamu bukan berasal dari Tanah Dewa, jadi kamu tidak mungkin tahu Sang NataJagad Tanah Dewa ini, biarlah aku dan anak cucuku yang mengetahuinya" dengan sabar Satria Tanah Dewa menjawab. Baiklah kalau begitu kamu sekarang harus tinggal di tengah laut, kamu tidak berhak tinggal di Tanah Dewa ini lagi", kata Satria Tanah Dewa, sambil bergegas meninggalkan tempat itu.

"Hem...kurang ajar...berani menghina aku hai kau satria...kamu tidak tahu siapa sebenarnya aku..." gerutu Buaya Putih dalam hati.

Setelah Raksasa Bodoh Pemangsa Manusia dapat diusir dari Tanah Dewa, rakyat bersuka ria, mereka bisa hidup tenang, damai, tenteram seperti sedia kala sebelum kedatangan Raksasa Bodoh Pemangsa Manusia di Tanah Dewa ini.

"Aku sudah tua...sudah saatnya aku akan lebih mendekatkan diri kepada Sang NataJagad disisa umurku ini...wahai anak-anakku. Kuserahkan tanggungjawab Tanah Dewa ini kepada kamu semua...pimpinlah rakyat Tanah Dewa ini dengan adil bijaksana seperti yang telah dicontohkan oleh leluhur-leluhur sebelum aku...jangan sampai ada rakyat yang hidupnya sengsara...kurang sandang...pangan...semua harus adil...kebutuhan rakyatlah yang utama". Demikian pesan terakhir Satria Tanah Dewa sebelum pergi menyepi menjadi seorang Pertapa/ Pandhita.

Hari berganti hari, tahun pun ikut berlalu hingga pada suatu sore menjelang malam, penduduk desa di tepian hutan Alaspasir dikejutkan dengan kedatangan beberapa orang berpakain putih-putih. 


"Maaf kisanak...sepertinya kisanak semua bukan orang daerah sini...mau apa dan kemana kisanak semua ini ? tanya Tetua Desa dengan keramah-tamahan khas penduduk desa kepada orang-orang berpakaian putih-putih itu.

"Maaf kami dari negeri seberang...jauh dari sini...dan tidak mempunyai tujuan pasti...kami hanya menyelamatkan diri dari situasi negeri kami yang tidak aman. Negeri kami terus saja ada peperangan...kekerasan di mana-mana...kami juga terpaksa meninggalkan keluarga...anak-anak kami...istri...orangtua kami. Dan kami mendengar dari kabar dari para pedagang hindhustan bahwa ada sebuah negeri di sebelah timur yang keadaannya aman tenteram...rakyatnya hidup serba berkecukupan". Apakah benar ini negeri Tanah Dewa itu ? Tanya pimpinan orang bepakaian serba putih itu.

"Iya benar adanya...ini Tanah Dewa seperti yang tuan maksud" jawab Tetua Desa.

"Bolehkah kami tinggal disini" tanya orang berpakain putih itu

"Boleh...silakan saja" jawab Tetua Desa dengan ramah. Baiklah kisanak hari sudah malam...silakan kisanak semua tinggal di rumah saya...kebetulan rumah saya luas, kata Tetua Desa.

Akhirnya malam itu semua orang berpakaian putih-putih itu menginap di rumah Tetua Desa. 

bersambung...

Comments

Popular posts from this blog

Kr. Telaga Biru - Tuti Trisedya

Waktu bulan mulai bercahya Pancarkan sinarnya Berkilauan air di telaga Telaga biru maya Di tengahnya bambu sejuta Menghijau warnanya Kemilau sinarnya di telaga Telaga biru maya Diwaktu malam bulan purnama Terdengar nyanyian surga Bidadari yang bersuka riang Menghibur hati di telaga Di tengahnya rimba yang sunyi Telaga bidadari Bunga surga yang mengharumi Telaga biru suci Diwaktu malam bulan purnama Terdengar nyanyian surga Bidadari yang bersuka riang Menghibur hati di telaga Di tengahnya rimba yang sunyi Telaga bidadari Bunga surga yang mengharumi Telaga biru suci

Nandang Bronto - Safitri

Sok kapan biso kelakon Sliramu dadi sisihanku Wis suwe nggonku ngenteni Ning sliramu sajak ora ngerti Opo sliramu ra kroso Atiku lagi nandang bronto Aku nyuwun palilahmu Timbangono katresnanku iki Tak rewangi awak kuru Saben ndino mung nggagas sliramu Tak suwun rino lan wengi Mugo mugo ketekan sedyaku Opo pancen koyo ngene rasane Wong kang nandang bronto Sedino ora ketemu Rumangsaku wis koyo sewindu Tak rewangi awak kuru Saben ndino mung nggagas sliramu Tak suwun rino lan wengi Mugo mugo ketekan sedyaku Opo pancen koyo ngene rasane Wong kang nandang bronto Sedino ora ketemu Rumangsaku wis koyo sewindu Sedino ora ketemu Rumangsaku wis koyo sewindu

Hati Yang Luka - Obbie Messakh

Berulang kali aku mencoba Selalu untuk mengalah Demi keutuhan kita berdua Walau kadang sakit Lihatlah tanda merah di pipi Bekas gambar tanganmu Sering kau lakukan bila kau marah Menutupi salahmu Samakah aku bagai burung di sana Yang dijual orang Hingga sesukamu kau lakukan itu Kau sakiti aku Kalaulah memang kita berpisah Itu bukan suratan Mungkin ini lebih baik Agar kau puas membagi cinta Pulangkan saja aku pada ibumu Atau ayahku Dulu segenggam emas Kau pinang aku Dulu bersumpah janji Di depan saksi Namun semua hilanglah sudah Ditelan dusta Namun semua tinggal cerita Hati yang luka Biar biarkanlah ada duka Malam ini Mungkin esok Kan kau jelang bahagia Bersama yang lain Kalaulah memang kita berpisah  Itu bukan suratan Mungkin ini lebih baik Agar kau puas membagi cinta Pulangkan saja aku pada ibumu Atau ayahku Dulu segenggam emas Kau pinang aku Dulu bersumpah janji Di depan saksi Namun semua hilanglah sudah Ditelan dusta Namun semua tin