Skip to main content

Elang Dan Tikus Putih

Si Kakek Elang duduk termenung di atas ranting cemara di sebuah bukit di kaki Gunung Srandil. Si Kakek Elang ini merasa prihatin melihat nasib anak cucunya yang semakin hari semakin berat dalam menjalani kehidupannya. Dimana makanan semakin langka dan semakin sulit saja didapatkan, akibat keserakahan bangsa manusia. 
" Yah apakah nasib bangsaku harus seperti ini" batin Si Kakek Elang dalam kesendiriannya. Tidak seperti masa-masa mudaku dulu, dimana bangsa manusia mau bersahabat dengan bangsaku, saling memgasihi, hidup rukun, damai tak ada perselisihan. Yah itu dulu, sebelum tanah kelahiranku ini banyak dihuni oleh bangsa manusia. Tapi inilah kodrat Tuhan yang harus dijalani, siapapun juga tidak akan sanggup untuk menghindarinya.

Si Kakek Elang ini sekarang tinggal dengan cucu satu-satunya yang bernama Si Gemilang, dimana bapak ibunya telah mati dibunuh oleh bangsa manusia. Dan sampai sekarang Si Kakek Elang tidak pernah mengerti apa salah dari kedua orangtua Si Gemilang, hingga bangsa manusia tega membunuhnya.
Hari berganti hari, tahun berganti tahun, terus berjalan tanpa pernah berhenti, tak terasa Si Gemilang kini sudah tumbuh menjadi elang yang gagah perkasa. Siap mengarungi angkasa raya untuk menjaga tiap jengkal tanah Nusantara ini dari ancaman keserakahan dan kemunafikan yang terus mengancam bangsa dan tanah kelahirannya.

"Kakek bolehkah saya bersama teman-teman untuk keliling Nusantara, aku ingin melihat luas negeriku ini" mohon Si Gemilang kepada Si Kakek Elang. Tentu saja boleh cucuku, kakek akan terus mendukung apa saja keinginanmu demi bangsa dan negaramu, jawab Si Kakek Elang mantab. Tapi ingat kamu harus tetap menjaga sifat ksatria dan harus selalu eling lan waspadha dimanapun kamu berada. "Baiklah kek, saya akan selalu menjaga pesan-pesan kakek".

Saat itu juga Si Gemilang bersama enam temannya terbang mengarungi angkasa raya Nusantara yang agung ini. Yah tujuh elang-elang muda merah putih sejati siap berjuang demi bangsa dan negaranya.

"Inilah negeriku...hemmm begitu luasnya...indah...aku jadi mengerti kini...pesan-pesan kakek juga cerita para leluhurku...negeriku ini adalah negeri terkaya di dunia...negeri tercantik di dunia...pantas saja semua bangsa di dunia ini ingin menguasainya" gumam Si Gemilang lirih. 

"Hai lihat...ada apa itu di bawah...teriak teman-teman Si Gemilang...melihat gerombolan Tikus Putih keluar masuk sarangnya sambil membawa sesuatu...owh mereka lagi ada pesta rupanya...wah enak sekali dia...tanpa kerja keras dengan mudah mendapat makanan...mewah lagi rumahnya"...Hehehe tidak usah iri teman-teman...biarkan saja mereka dengan kemewahannya...tapi lihatlah mereka...hidupnya tidak aman...penuh dengan mara bahaya...sekali saja mereka lengah...Si Meong pasti akan menerkamnya...ucap Si Gemilang kepada teman-temannya"...Iya-iya aku ngerti balas teman-teman Si Gemilang.

"Hari menjelang sore teman-teman... mari kita pulang...ibu bapak...juga kakekku pasti sudah menunggu di rumah"...Baiklah mari kita pulang...jawab teman-teman Si Gemilang.

Setelah selesai mandi, makan secukupnya Si Gemilang segera menemui Si Kakek Elang, dan menceritakan pengalamannya setelah keliling Nusantara seharian tadi. 

" Ya itulah negerimu nak, kamu sudah melihat sendiri, betapa agungnya negerimu, tapi sayang banyak orang tidak mau mengerti, mensyukuri semua anugerah Tuhan ini. Banyak dari mereka gemar merusak negaranya sendiri disadari atau tidak disadari. Contohnya seperti Tikus Putih tadi, mereka gemar mencuri, menumpuk makanan, menumpuk "uang", dsb".

Ya korupsi semakin merajalela saja

Tetap tersenyum anak-anak Nusantara, tetap santun, hormat kepada orangtua, kakak, adik, teman dan semuanya. Salam NKRI
Kebumen, 6 Oktober 2013
(A.M. Kisworo)

Comments

Popular posts from this blog

Kr. Telaga Biru - Tuti Trisedya

Waktu bulan mulai bercahya Pancarkan sinarnya Berkilauan air di telaga Telaga biru maya Di tengahnya bambu sejuta Menghijau warnanya Kemilau sinarnya di telaga Telaga biru maya Diwaktu malam bulan purnama Terdengar nyanyian surga Bidadari yang bersuka riang Menghibur hati di telaga Di tengahnya rimba yang sunyi Telaga bidadari Bunga surga yang mengharumi Telaga biru suci Diwaktu malam bulan purnama Terdengar nyanyian surga Bidadari yang bersuka riang Menghibur hati di telaga Di tengahnya rimba yang sunyi Telaga bidadari Bunga surga yang mengharumi Telaga biru suci

Nandang Bronto - Safitri

Sok kapan biso kelakon Sliramu dadi sisihanku Wis suwe nggonku ngenteni Ning sliramu sajak ora ngerti Opo sliramu ra kroso Atiku lagi nandang bronto Aku nyuwun palilahmu Timbangono katresnanku iki Tak rewangi awak kuru Saben ndino mung nggagas sliramu Tak suwun rino lan wengi Mugo mugo ketekan sedyaku Opo pancen koyo ngene rasane Wong kang nandang bronto Sedino ora ketemu Rumangsaku wis koyo sewindu Tak rewangi awak kuru Saben ndino mung nggagas sliramu Tak suwun rino lan wengi Mugo mugo ketekan sedyaku Opo pancen koyo ngene rasane Wong kang nandang bronto Sedino ora ketemu Rumangsaku wis koyo sewindu Sedino ora ketemu Rumangsaku wis koyo sewindu

Hati Yang Luka - Obbie Messakh

Berulang kali aku mencoba Selalu untuk mengalah Demi keutuhan kita berdua Walau kadang sakit Lihatlah tanda merah di pipi Bekas gambar tanganmu Sering kau lakukan bila kau marah Menutupi salahmu Samakah aku bagai burung di sana Yang dijual orang Hingga sesukamu kau lakukan itu Kau sakiti aku Kalaulah memang kita berpisah Itu bukan suratan Mungkin ini lebih baik Agar kau puas membagi cinta Pulangkan saja aku pada ibumu Atau ayahku Dulu segenggam emas Kau pinang aku Dulu bersumpah janji Di depan saksi Namun semua hilanglah sudah Ditelan dusta Namun semua tinggal cerita Hati yang luka Biar biarkanlah ada duka Malam ini Mungkin esok Kan kau jelang bahagia Bersama yang lain Kalaulah memang kita berpisah  Itu bukan suratan Mungkin ini lebih baik Agar kau puas membagi cinta Pulangkan saja aku pada ibumu Atau ayahku Dulu segenggam emas Kau pinang aku Dulu bersumpah janji Di depan saksi Namun semua hilanglah sudah Ditelan dusta Namun semua tin