Skip to main content

Legenda Aji Saka


Masyarakat Jawa mengenal kisah Ajisaka Purwawisesa dan seperti biasanya legenda ini mengundang banyak versi (sudut pandang) dalam soal pemaknaan, dilain pihak ada sebagian masyararakat yang menganggap bahwa legenda ini hanyalah tuturan dongeng tanpa makna (hiburan biasa).

Sesungguhnya sebutan Ajisaka Purwawisesa itu adalah nama lain atau sandi ajaran milik bangsa Galuh Agung yang disampaikan oleh Sang Sri Rama Mahaguru Ratu Rasi Prabhu Shindu La-Hyang atau Sang Hyang Watugunung Ratu Agung Manikmaya atau sering disebut sebagai Aji Tirem (Aki Tirem).

Ringkasan kisah legenda Ajisaka Purwawisesa adalah sebagai berikut :

Dikisahkan bahwa Ajisaka adalah penguasa Majati, ia memiliki dua ponggawa yang bernama Dora dan Sembada. Dora diajak menemani Ajisaka berkelana dan Sembada diperintahkan menjaga pusaka di Majati agar tidak diambil oleh siapapun kecuali oleh Ajisaka.

Lalu, Ajisaka dan Dora bertemu dengan Prabu Dewata Cengkar penguasa Medang Kamulan yang gemar memakan manusia. Pada awalnya Dewata Cengkar adalah orang baik, ia jadi menyukai manusia karena Juru Masak istana terpotong telunjuknya dan masuk ke dalam makanan yang disajikan kepada Dewata Cengkar.

Ajisaka menawarkan diri untuk dimakan oleh Dewata Cengkar dengan imbalan diberi tanah seluas dan sepanjang ikat kepalanya. Ikat kepala ditarik oleh Dewata Cengkar dan terus memanjang hingga ke tepi jurang di bibir laut. Ajisaka mengalahkan Dewata Cengkar oleh ikat kepalanya hingga penguasa Medang Kamulan itu terjerumus ke dalam laut dan berobah menjadi Buaya Putih.

Setelah Ajisaka menggantikan Dewata Cengkar sebagai Raja Medang Kamulan ia memerintahkan Dora untuk mengambil pusaka di Majati yang dijaga oleh Sembada. Sesuai perintah Ajisaka Sembada tidak memberikan kepada Dora hingga keduanya saling bertempur hingga tewas. Lalu untuk mengabadikan kedua ponggawanya Ajisaka Purwawisesa menciptakan aksara Ha-Na-Ca-Ra-Ka atau sering disebut sebagai huruf Palawa.

Berdasarkan legenda di atas setidaknya dapat ditelusuri dan dikaji beberapa hal yang berkaitan dengan objek serta penamaan yang tercantum dalam cerita tersebut, yaitu :

1. Ajisaka Purwawisesa

- Aji = Ajar/ Ajaran

- Saka = Pusat Inti/ Pilar Utama/ Inti Utama (Matahari)

- Purwa = Purba/ Masa lalu yang sangat lama/ Jaman dahulu sekali atau boleh jadi maksudnya adalah Leluhur

- Wisesa = Kuasa/ Penguasa/ Kekuasaan/ Yang berkuasa

Maka, Ajisaka Purwawisesa itu kira-kira mengandung beberapa makna sebagai berikut :
 
- Pilar utama ajaran para penguasa jaman dahulu
- Ajaran utama para penguasa masa lalu
- Inti ajaran para Leluhur yang berkuasa
- atau boleh jadi artinya Ajaran Matahari

2. Majati

- Ma = Ibu / Ambu / Indung

- Jati = Sejati

- Atau bisa jadi artinya Ra-Ma-Jati (Ibu Matahari yang Sejati)

Maka, sebutan Majati mengandung makna Ibu Sejati. Dalam hal ini masyarakat meyakini/ menganggap bahwa ibu yang sejati itu adalah Ibu Pertiwi (Tanah Air), kadang mereka menyebutnya juga sebagai Indung Jati atau Indung Agung yaitu Tanah para Leluhur tempat bersemayamnya para Hyang (Eyang/ Biyang/ Moyang).

3. Dora dan Sembada

- Dora = Doraka/Durhaka –> berbohong, tidak jujur, menipu, berdusta

- Sembada = Makmur, sentausa, berkecukupan (kaya), kuat

Dengan demikian dalam kisah ini menunjukan bahwa Ajisaka membawa berita buruk tentang kebohongan (Dora), sedangkan yang ditinggalkan untuk menjaga Pusaka Ibu Pertiwi (Ma-Jati) adalah kebaikan kemakmuran/ kesentausaan (Sembada).

4. Medang Kamulan

- Medang / Madang (Ma-Da-Hyang) = Ibu Agung, Lumbung Padi, boleh jadi maksudnya adalah Ibu Kota (Jawa).

- Kamulan = Kemuliaan

Medang Kamulan berasal dari kata Ma (Ibu) Da (Agung/ Besar) Hyang (Leluhur) Kamuliaan. Jadi makna keseluruhan dari istilah Medang Kamulan itu adalah (yang) Mulia Ibu Hyang Agung atau Ibu Negeri (Ibu Kota) Kemaharajaan Nusantara di Pulau Jawa.

Dalam catatan sejarah wilayah Keraton (Keratuan/ Pusat Pemerintahan) Nusantara disebut Ka-Lingga, kelak di jaman Ra-Hyang Sanjaya berganti menjadi Bumi Mataram (abad ke VIII).

Maka cerita Ajisaka telah menunjukan letak kejadian atas peristiwa yang sesungguhnya, yaitu di Mataram Kuno sebagai representasi atas pulau Jawa sebagai wilayah Ibu Kota dan Nusantara secara keseluruhan.

5. Juru Masak

- Juru = Ahli (mis : juru pantun = ahli pantun), pemimpin (mis : juru mudi, juru selamat), namun bisa juga artinya sudut (yang tersudutkan/ terdesak).

- Masak = Matang, Tua.

Dengan demikian Juru Masak merupakan silib-siloka dari Tetua yang tersudutkan atau Ketua yang terdesak. Pada prinsipnya ia adalah penguasa gudang makanan. Di dalam legenda ini tampaknya istilah sang Juru Masak ditujukan untuk menyembunyikan status Penguasa Medang Kamulan (Maharaja Nusantara di Pulau Jawa).

6. Telunjuk

- Telunjuk = silib-siloka pemerintah penguasa

Telunjuk adalah silib-siloka kekuasaan maka dalam legenda Ajisaka Purwawisesa pada bagian telunjuk Juru Masak terpotong dan dimakan oleh Dewata Cengkar itu menyiratkan tentang hilangnya kekuasaan penguasa negara (Maharaja Nusantara di Pulo Jawa) disantap oleh Dewata Cengkar. 


Rakyat Medang Kamulan

Rakyat (manusia) dimakan oleh Dewata Cengkar, hal ini tentu saja menunjukan bahwa masyarakat Medang Kamulan sebagai representasi Ibu kota Nusantara di Pulo Jawa dalam keadaan ditindas dan dijajah oleh Dewata Cengkar atau maksudnya berada dalam kekuasaan Dewata Cengkar.

Ikat Kepala

Pola bentuk ikat kepala yang terbanyak di dunia hanyalah di Nusantara. Ikat kepala bukan sekedar fungsi ataupun identitas, ia mengandung filosofi yang sangat dalam. Ikat kepala adalah perlambang leluhur maka dalam legenda Ajisaka ini menunjukan bahwa Dewata Cengkar dikalahkan oleh ilmu para leluhur hingga ia terusir dari Medang Kamulan Bumi Mataram.

9. Dewata Cengkar

- Dewa = Cahaya (bukan Sinar/ bukan Matahari)

- Ta = Gerak Hidup

- Cengkar = Tempat yang luas tandus dan gersang, tempat kering berpasir dan berbatu (padang pasir).

Jika ditelaah berdasarkan kata-perkata tampaknya sosok Dewata Cengkar ini adalah simbol penguasa yang datang dari wilayah gersang dan tandus (padang pasir) lalu menguasai Negeri Lumbung Padi (Medang Kamulan) Ibu Kota Mataram kuno di Pulau Jawa atau representasi dari Nusantara.

Buaya Putih

Tentu saja di dunia ini tidak pernah ada buaya yang berwarna putih, apalagi ia jenis mahluk yang biasa tinggal di lumpur (kotor). Dalam sudut pandang masyarakat pulau Jawa/ Nusantara pada umumnya sosok Buaya merupakan perlambang keburukan misalnya; Air mata buaya, Buaya Darat, Bajul buntung, dll.

Dengan demikian makna yang terkandung dalam kisah Dewata Cengkar berobah menjadi Buaya Putih itu maksudnya adalah terbongkar penyamaran Dewata Cengkar dan terkuak keburukannya namun demikian ia masih juga ada di tanah-air dengan berkedok kesucian. (JSP)

Comments

Popular posts from this blog

Kr. Telaga Biru - Tuti Trisedya

Waktu bulan mulai bercahya Pancarkan sinarnya Berkilauan air di telaga Telaga biru maya Di tengahnya bambu sejuta Menghijau warnanya Kemilau sinarnya di telaga Telaga biru maya Diwaktu malam bulan purnama Terdengar nyanyian surga Bidadari yang bersuka riang Menghibur hati di telaga Di tengahnya rimba yang sunyi Telaga bidadari Bunga surga yang mengharumi Telaga biru suci Diwaktu malam bulan purnama Terdengar nyanyian surga Bidadari yang bersuka riang Menghibur hati di telaga Di tengahnya rimba yang sunyi Telaga bidadari Bunga surga yang mengharumi Telaga biru suci

Nandang Bronto - Safitri

Sok kapan biso kelakon Sliramu dadi sisihanku Wis suwe nggonku ngenteni Ning sliramu sajak ora ngerti Opo sliramu ra kroso Atiku lagi nandang bronto Aku nyuwun palilahmu Timbangono katresnanku iki Tak rewangi awak kuru Saben ndino mung nggagas sliramu Tak suwun rino lan wengi Mugo mugo ketekan sedyaku Opo pancen koyo ngene rasane Wong kang nandang bronto Sedino ora ketemu Rumangsaku wis koyo sewindu Tak rewangi awak kuru Saben ndino mung nggagas sliramu Tak suwun rino lan wengi Mugo mugo ketekan sedyaku Opo pancen koyo ngene rasane Wong kang nandang bronto Sedino ora ketemu Rumangsaku wis koyo sewindu Sedino ora ketemu Rumangsaku wis koyo sewindu

Hati Yang Luka - Obbie Messakh

Berulang kali aku mencoba Selalu untuk mengalah Demi keutuhan kita berdua Walau kadang sakit Lihatlah tanda merah di pipi Bekas gambar tanganmu Sering kau lakukan bila kau marah Menutupi salahmu Samakah aku bagai burung di sana Yang dijual orang Hingga sesukamu kau lakukan itu Kau sakiti aku Kalaulah memang kita berpisah Itu bukan suratan Mungkin ini lebih baik Agar kau puas membagi cinta Pulangkan saja aku pada ibumu Atau ayahku Dulu segenggam emas Kau pinang aku Dulu bersumpah janji Di depan saksi Namun semua hilanglah sudah Ditelan dusta Namun semua tinggal cerita Hati yang luka Biar biarkanlah ada duka Malam ini Mungkin esok Kan kau jelang bahagia Bersama yang lain Kalaulah memang kita berpisah  Itu bukan suratan Mungkin ini lebih baik Agar kau puas membagi cinta Pulangkan saja aku pada ibumu Atau ayahku Dulu segenggam emas Kau pinang aku Dulu bersumpah janji Di depan saksi Namun semua hilanglah sudah Ditelan dusta Namun semua tin